Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
Nama Dari Borobudur
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas, meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba". Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya.
Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
Pembangunan Candi Borobudur
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.
Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Tahap Pembangunan Candi Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
- Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
- Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
- Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
- Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur Diterlantarkan
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.
Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.
Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan Kembali
Relif di Candi Borobudur |
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.
Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama. Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.
Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp. Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.
Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991. Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dab jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".
Peristiwa Kontemporer
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO, Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom. Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur. Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini. Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia 1997. Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[6] Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.
Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang. Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan. Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.
Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)[44] menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon untuk tidak melakukan tindakan SPAM dan menaruh LINK yang aktif. Berkomentarlah yang baik. Terimakasih untuk komentar anda.