Memaparkan semua sejarah yang ada di Indonesia

Kamis, 31 Mei 2012

Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq

Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman Haji) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.

Rabu, 30 Mei 2012

Tentang Syekh Siti Jenar dan Berbagai Kontroversi

Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.

Selasa, 29 Mei 2012

Tentang Sunan Drajat atau Raden Qasim

Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang. Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan. Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. 

Tentang Sunan Bonang

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.

Senin, 28 Mei 2012

Tentang Sunan Ampel atau Raden Rahmat

Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). 

Tentang Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa Timur.

Sejarah Terbentuknya Walisongo

Walisongo Periode Pertama

Pada waktu Mehmed I Celeby memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.


Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah.
Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:

Kamis, 17 Mei 2012

Prabu Brawijaya - Raja Terakhir Majapahit Versi Naskah Babad

Prabu Brawijaya (lahir: ? - wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.

Sejarah Pura Tanah Lot - Bali

Banyak sekali orang yang tahu tentang Tanah Lot, tapi sudahkah anda tahu sejarah dari Pura Tanah Lot yang sangat terkenal itu? Mari kita simak bersama-sama.


Pada masa Kerajaan Majapahit ada seseorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirarta.Beliau dikenal sebagai Tokoh penyebaran ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra “.Di Lombok beliau dikenal dengan nama “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru (sebuah nama Gunung di Jawa Timur).

Rabu, 16 Mei 2012

Sejarah Kabupaten Gianyar - Bali

Kabupaten Gianyar adalah sebuah kabupaten di provinsi Bali, Indonesia. Daerah ini merupakan pusat budaya ukiran di Bali. Gianyar berbatasan dengan Kota Denpasar di barat daya, Kabupaten Badung di barat, Kabupaten Bangli di timur dan Kabupaten Klungkung di tenggara.

Senin, 14 Mei 2012

Suraprabhawa - Raja Kesepuluh Majapahit

Dyah Suraprabhawa adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474, bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Tokoh ini identik dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton yang naik takhta tahun 1466.

Bhre Pandansalas dalam Pararaton

Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk). Raden Sumirat bergelar Ranamanggala menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardhana. Dari perkawinan itu lahir Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja kemudian kawin dengan Suhita (raja wanita Majapahit, 1427-1447).

Girishawardhana - Raja Majapahit yang Kesembilan

Girishawardhana Dyah Suryawikrama adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1456-1466. Ia dianggap identik dengan Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton.


Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton


Menurut Pararaton, Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.
Pada tahun 1466 Hyang Purwawisesa meninggal dunia dan dicandikan di Puri. Ia digantikan oleh Bhre Pandansalas sebagai raja selanjutnya.

Minggu, 13 Mei 2012

Rajasawardhana - Raja Kedelapan Majapahit

Rajasawardhana dalam sejarah Kerajaan Majapahit merujuk pada dua orang. Yang pertama adalah pejabat Bhre Matahun pada pemerintahan Hayam Wuruk, sedangkan yang kedua adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1451-1453.


Rajasawardhana alias Bhre Matahun

Menurut Nagarakretagama, Rajasawardhana alias Bhre Matahun adalah suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).

Kertawijaya - Raja Ketujuh Majapahit

Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana.


Kertawijaya dalam Pararaton

Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.

Suhita - Ratu Keenam Majapahit

Prabu Stri Suhita adalah ratu Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.


Silsilah Bhatara Hyang Parameswara

Menurut Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardhana. Ayahnya bernama Raden Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.

Wikramawardhana - Raja Kelima Majapahit

Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427.



Silsilah Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.

Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil. Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja.

Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya. Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja.
Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.

Awal Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Saat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.
Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri sebagai selir.

Rajasakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”.
Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram.
Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit.

Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci.

Wikramawardhana dalam Perang Paregreg
Menurut Pararaton, Wikramawardhana kembali menjadi raja, karena Kusumawardhani meninggal dunia. Kusumawardhani dicandikan di Pabangan, bernama Laksmipura.
Pada tahun 1401 Wikramawardhana berselisih dengan Bhre Wirabhumi, saudara tiri Kusumawardhani. Perselisihan antara penguasa Majapahit Barat dan Majapahit Timur itu memuncak menjadi perang saudara tahun 1404, yang disebut perang Paregreg.

Pada tahun 1406 pasukan istana barat dipimpin Bhre Tumapel menghancurkan istana timur. Bhre Wirabhumi tewas di tangan Raden Gajah alias Bhra Narapati. Wikramawardhana kemudian memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir.

Akhir Pemerintahan Wikramawardhana
Perang Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat dan timur sibuk berperang.
Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada kaisar Dinasti Ming penguasa Cina. Ketika terjadi penyerbuan ke timur, sebanyak 170 orang anak buah Laksamana Ceng Ho ikut terbunuh. Padahal waktu itu Ceng Ho sedang menjadi duta besar mengunjungi Jawa.

Menurut kronik Cina tulisan Ma Huan (sekretaris Ceng Ho), Wikramawardhana diwajibkan membayar denda pada kaisar sebesar 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 baru bisa diangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, kaisar membebaskan hutang tersebut karena kasihan.
Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre Tumapel sang putra mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian kematian istri dan putra Bhre Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker.
Wikramawardhana akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427. Ia dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu.


Sabtu, 12 Mei 2012

Hayam Wuruk - Raja Keempat Majapahit

Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.


Silsilah Hayam Wuruk

Nama Hayam Wuruk artinya "ayam yang terpelajar". Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.


Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhree Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhree Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.


Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.


Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).


Perang Bubat

Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja Galuh (di Jawa Barat), Dyah Pitaloka Citraresmi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok kerajaan Galuh. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak kerajaan Galuh untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Kerajaan Galuh menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan kerajaan Galuh tewas, dan dalam beberapa tahun Galuh menjadi wilayah Majapahit.
"Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.


Riwayat Akhir Hayam Wuruk
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.




Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Hayam_Wuruk

Tribhuwana Wijayatunggadewi - Penguasa Ketiga Majapahit

Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.


Silsilah Tribhuwana

Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.


Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.


Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.


Pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi

Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.


Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.


Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.


Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi ratu Majapahit.


Meninggalnya Tribhuwana Wijayatunggadewi

Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.


Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.




Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tribhuwana_Wijayatunggadewi

Sri Jayanegara - Raja Kedua Majapahit

Sri Jayanagara (lahir: 1294 - wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib istananya.


Asal-usul Sri Jayanegara

Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet putra Raden Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau "istri yang dituakan di istana".


Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.


Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara Petak.


Sri Jayanegara Naik Takhta

Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.


Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna "jahat" dan "lemah", hal itu dikarenakan kepribadian Jayanagara yang dipenuhi prilaku amoral namun lemah sebagai penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul dalam masa pemerintahannya.


Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Dari Piagam Sidateka yang bertarikh 1323, Jayanagara menetapkan susunan mahamantri katrini dalam membantu pemerintahannya, yaitu sebagai berikut:

  1. Rakryan Mahamantri Hino: Dyah Sri Rangganata
  2. Rakryan Mahamantri Sirikan: Dyah Kameswara
  3. Rakryan Mahamantri Halu: Dyah Wiswanata
Pemberontakan di Masa Pemerintahan Jayanegara
Menurut Pararaton, pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan oleh para pengikut ayahnya. Hal ini disebabkan karena Jayanagara adalah raja berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan keturunan Kertanagara murni.

Pemberontakan pertama terjadi ketika Jayanagara naik takhta, yaitu dilakukan oleh Ranggalawe pada tahun 1295 dan kemudian Lembu Sora pada tahun 1300. Dalam hal ini pengarang Pararaton kurang teliti karena Jayanagara baru menjadi raja pada tahun 1309. Mungkin yang benar ialah, pemberontakan Ranggalawe terjadi ketika Jayanagara diangkat sebagai raja muda atau putra mahkota.
Pararaton juga memberitakan pemberontakan Juru Demung tahun 1313, Gajah Biru tahun 1314, Mandana dan Pawagal tahun 1316, serta Ra Semi tahun 1318. Akan tetapi, menurut Kidung Sorandaka, Juru Demung dan Gajah Biru mati bersama Lembu Sora tahun 1300, sedangkan Mandana, Pawagal, dan Ra Semi mati bersama Nambi tahun 1316.

Berita pemberontakan Nambi tahun 1316 dalam Pararaton juga disebutkan dalam Nagarakretagama, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka. Menurut Nagarakretagama, pemberontakan Nambi tersebut dipadamkan langsung oleh Jayanagara sendiri.

Di antara pemberontakan-pemberontakan yang diberitakan Pararaton, yang paling berbahaya adalah pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Ibu kota Majapahit bahkan berhasil direbut kaum pemberontak, sedangkan Jayanagara sekeluarga terpaksa mengungsi ke desa Badander dikawal para prajurit bhayangkari.
Pemimpin prajurit bhayangkari yang bernama Gajah Mada kembali ke ibu kota menyusun kekuatan. Berkat kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota, Kelompok Ra Kuti dapat dihancurkan.

Hubungan Dengan Cina
Daratan Cina saat itu dikuasai oleh Dinasti Yuan atau bangsa Mongol. Pada tahun 1321 seorang pengembara misionaris bernama Odorico da Pordenone mengunjungi Pulau Jawa dan sempat menyaksikan pemerintahan Jayanagara. Ia mencatat pasukan Mongol kembali datang untuk menjajah Jawa, namun berhasil dipukul mundur oleh pihak Majapahit. Hal ini mengulangi kegagalan mereka pada tahun 1293.

Namun hubungan antara Majapahit dengan Mongol kemudian membaik. Catatan dinasti Yuan menyebutkan pada tahun 1325 pihak Jawa mengirim duta besar bernama Seng-kia-lie-yulan untuk misi diplomatik. Tokoh ini diterjemahkan sebagai Adityawarman putra Dara Jingga, atau sepupu Jayanagara sendiri.

Kematian Sri Jayanegara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan tersebut.

Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan, gapura paduraksa Bajang Ratu kemungkinan besar adalah gapura yang tersisa dari kompleks Srenggapura. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi.

Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu takhta Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Tunggadewi.


Raden Wijaya - Pendiri Majapahit

Kertarajasa Jayawardhana atau disebut juga Raden Wijaya (lahir: ? - wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardana, atau lengkapnya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertajasa Jayawardhana.


Nama Asli

Raden Wijaya merupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.


Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.


Asal-usul Raden Wijaya

Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari. Ia dibesarkan di lingkungan Kerajaan Singhasari.
Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raden Wijaya adalah putra pasangan Rakyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal. Ayahnya adalah putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Kerajaan Sunda Galuh, sedangkan ibunya adalah putri Mahisa Campaka dari Kerajaan Singhasari. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan perpaduan darah Sunda dan Jawa.


Setelah Rakyan Jayadarma tewas diracun musuhnya, Lembu Tal pulang ke Singhasari membawa serta Wijaya. Dengan demikian, Raden Wijaya seharusnya menjadi raja ke-27 Kerajaan Sunda Galuh. Sebaliknya, ia mendirikan Majapahit setelah tewasnya raja Kertanegara, raja Singhasari terakhir, yang merupakan sepupu ibunya.


Kisah di atas mirip dengan Babad Tanah Jawi yang menyebut pendiri Kerajaan Majapahit bernama Jaka Sesuruh putra Prabu Sri Pamekas raja Kerajaan Pajajaran, yang juga terletak di kawasan Sunda. Jaka Sesuruh melarikan diri ke timur karena dikalahkan saudara tirinya yang bernama Siyung Wanara. Ia kemudian membangun Kerajaan Majapahit dan berbalik menumpas Siyung Wanara.


Berita di atas berlawanan dengan Nagarakretagama yang menyebut Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, putra Narasinghamurti. Naskah ini memuji Lembu Tal sebagai seorang perwira yuda yang gagah berani dan merupakan ayah dari Dyah Wijaya.


Silsilah Keluarga

Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa. Menurut Nagarakretagama, Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Menurut Pararaton, Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.


Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan menurut Pararaton, ia hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak, yaitu salah satu dari dua putri yang dibawa kembali dari Melayu oleh pasukan yang dulunya dikirim oleh Kertanagara yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu pada masa kerajaan Singhasari. Dara Petak merupakan salah seorang putri Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa Raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya.


Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara. Sedangkan Jayanagara menurut Pararaton adalah putra Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.


Namun demikian ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa.


Raden Wijaya Mendirikan Desa Majapahit

Menurut prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.


Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).


Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.


Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.


Raden Wijaya Menjadi Raja Majapahit

Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.


Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.


Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.


Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.


Masa Pemerintahan Raden Wijaya

Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura.


Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang).


Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.


Akhir Hidup Raden Wijaya

Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa.
Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja selanjutnya.




Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Wijaya

Jumat, 11 Mei 2012

Sutawijaya Pendiri Kesultanan Mataram

Danang Sutawijaya adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.


Asal-usul Sutawijaya

Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.


Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.


Peran Awal Sutawijaya

Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.


Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.


Pemberontakan Terhadap Pajang

Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).


Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.


Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.


Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.


Memerdekakan Mataram

Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.
Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.


Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.


Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.


Menjadi Raja

Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.


Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.


Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.
Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.


Perluasan Kesultanan Mataram

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.
Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.


Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.
Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.
Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).


Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.


Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.


Akhir Pemerintahan Sutawijaya
Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.


Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sutawijaya

Kesultanan Mataram (Islam)

Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.


Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.


Masa Awal Kesultan Mataram


Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.


Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.


Terpecahnya Kesultanan Mataram


Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.


Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.


Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.




Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Mataram_II

Kamis, 10 Mei 2012

Kerajaan Pertama Indonesia Ada di Sunda Bukan di Kutai. Benarkah?

"Kerajaan pertama di Indonesia dikatakan ada di Sunda bukan di Kutai. Benarkah itu? terus saya mencari-cari di mbah Google dan menemukan sebuah artikel yang sangat menarik, penulisnya orang Sunda juga. Mohon maaf karena artikel ini copy paste. Jika ingin mengetahui lebih lanjut silahkan anda tanyakan pada penulisnya lasngsung. Linknya saya taruh dibawah."


Di daerah Sunda bahwa ada kerajaan kecil yang bernama Salakanagara. Kerajaan salakanagara awalnya adalah sebuah pemukiman penduduk, namun karena kedatangan manusia import dari India yang berasal dari sebuah kerajaan dan menikah dengan penduduk setempat lalu ia mendirikan kerajaan. Mmanusia India tersebut adalah keturunan kerajaan yang terusir. Berdirilah kerajaan Salakanagara pada tahun 150-an Masehi. Di daerah ini ditemukan peninggalah sejarah berupa menhir dan dolmen. Barang-barang yang terbuat dari batu, ciri khas peninggalan purba.


Bukan hanya di Google, namun juga saya temukan dalam sejarah Jawa Barat yang menyebutkan bahwa di daerah Sunda terdapat kerajaan munggaran yaitu Kerajaan Salakanagara. Hal ini diungkapkan dalam bukunya Wangsakerta Nenek Moyangnya Sunan Gunung Djati dari Cirebon. Ia menulis sejarah nusantara yang salah satu isinya adalah tentang awal mula keberadaan Sunda.


Selama ini kita dijejali informasi yang barangkali kurang tepat ketika jamannya SD dulu. Kita mengetahui bahwa kerajaan pertama adalah Kutai dan kemudian kerajaan kedua berada di Sunda yaitu kerajaan Tarumanagara yang lahir kira-kira tahun 400-an Masehi. Sebagian orang masih percaya bahwa kerajaan pertama tersebut adalah Kutai. Ini bukan masalah pembelaan namun masalah kebenaran sejarah yang seringkali dipelintir oleh penguasa.


Begitupun bertahun-tahun lamanya kita tahu bahwa huruf sunda asli tersebut adalah huruf Hanacaraka, namun belakangan ternyata bernama Kaganga. Semua huruf kuno di Nusantara hampir memiliki corak yang sama seperti huruf Kaganga.


Kerajaan pertama ada di Sunda sangat Rasional. Hal ini berpijak bahwa sesungguhnya seluruh kepulauan Nusantara pada awalnya bernama paparan Sunda, ada Sunda besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Kalimantan yang awalnya tersatukan oleh daratan dan ada Sunda kecil yang terdiri dari Bali, Sumbawa dan sekitarnya. Namun karena Gempa besar yang kemudian mencairkan es di kutub, akhirnya laut menjadi pasang sehingga permukaan air laut menjadi naik. Maka terpisahkanlah dataran tersebut menjadi pulau-pulau besar. Oleh karena itu mengapa selat Sunda sangat pendek atau kenapa Madura sangat dekat dengan pulau jawa karena pada awalnya mereka satu daratan. Hal ini diceritakan secara mendalam dalam bukunya Prof. Santos ‘Atlantis, the loss of continental’. Bahkan di laut jawa sendiri, karena dahulunya pernah ada sungai yang sangat panjang, ada sungai di bawah laut yang menunjukan adanya kehidupan pada masa purba.


Walaupun para sejarawah ada yang kontra karena tidak ada peninggalan sejarah dari kerajaan tersebut dan buku wangsakerta dianggap terlalu modern, tentu saja barangkali saat itu belum menghasilkan peninggalan yang sangat berarti untuk ukuran masa sekarang apalagi diukur dengan aturan masa kini untuk syarat-syarat kerajaan.


Tidak hanya kerajaan, namun juga Candi tertua terdapat di daerah Jawa Barat, yaitu Candi Arwah yang terdapat di Batu Jaya Rengasdengklok Karawang. Dalam lingkungan candi tidak hanya terdapat tempat ibadah saja, namun juga pusat peradaban separti halnya jaman sekarang. Di lingkungan candi ditemukan berbagai artefak peninggalan sejarah, seperti piring-piring dan pernak-pernik rumah lainnya.


Kata-kata Penulis


Sekali lagi, jika ini benar, ini bukanlah pembelaan karena saya notabene orang Sunda, namun pengungkapan kebenaran dari kebohongan-kebohongan sejarawah pengusa terdahulu yang telah menyesatkan manusia Indonesia. Dengan sejarah manusia mengetahui jati diri dan identitasnya. Masyarakat harus tahu sejarah bangsanya sendiri sebagaimana kita tahu bagaimana perjuangan merebut kemerdekaan ini sehingga kita dapat menghargai bangsa Indonesia tercinta ini.


Sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2010/11/03/kerajaan-pertama-indonesia-ada-di-sunda/

Kerajaan Medang (Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu)

Kerajaan Medang (biasa disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.


Nama dan Versi Berbeda Kerajaan Mataram

Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.


Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.


Pusat Kerajaan Medang (Mataram Kuno atau Mataram Hindu)

Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.


Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,


  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
  • Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
  • Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
  • Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan para ahli sejarah dan masyarakat, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

Awal Berdiri Kerajaan Medang 
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.

Sanna juga dikenal dengan nama sena atau Bratasenawa, yang merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M).Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu sanna) dalam tahun 716 M.Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat sanna). 

Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Dinasti Yang Berkuasa Saat Masa Kerajaan Medang
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

Daftar Raja-raja Kerajaan di Medang
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:
  • Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
  • Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
  • Rakai Panunggalan alias Dharanindra
  • Rakai Warak alias Samaragrawira
  • Rakai Garung alias Samaratungga
  • Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
  • Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
  • Rakai Watuhumalang
  • Rakai Watukura Dyah Balitung
  • Mpu Daksa
  • Rakai Layang Dyah Tulodong
  • Rakai Sumba Dyah Wawa
  • Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
  • Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
  • Makuthawangsawardhana
  • Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir

Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.

Keadaan Penduduk Saat Masa Kerajaan Medang
Penduduk Kerajaan Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Peristiwa Mahapralaya

Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Peninggalan Sejarah Kerajaan Medang
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.


Aji Pengasih Asem Brodonoyo dan Mantranya

Bondronoyo adalah nama lain dari Semar, yaitu seorang dewa yang bernama Ismaya, yang lebih memilih jalan hidupnya menjadi sang Pamomong orang-orang yang berjiwa ksatria untuk menjunjung tinggi arti kebenaran. 
Bathara Ismaya yang juga kakak kandung Guru Dewa ini terkenal sangat tampan. Dan siapa saja yang melihat senyumnya akan tergila-gila padanya, terutama para gadis/wanita. Namun begitu Bondronoyo tak pernah menggunakan untuk tujuan maksiat. 


Seperti halnya pemilik ilmu ini, Aji Pangasihan Asem Bondronoyo ini tak akan mempan bila digunakan untuk berbuat main-main. Artinya, jika seseorang mengamalkan ajian ini hanya untuk mempermainkan seorang wanita, maka dijamin tidak akan mempan. Sebaliknya, jika ia mengamalkannya denga niat tulus ingin menunting wanita itu sebagai pendamping hidupnya, maka Insya-Allah ajian ini akan berdaya guna. 


Mantranya


"Sangkan paraning dumadi. Sing dak suwun lan dak puji dumateng Gusti. Mugo aku dadi asihing sak negoro putri. Jabang bayine....(sebut nama orang yang dituju dan nama ayahnya)." 


Jangan lupa, sebelum mengamalkan ajian ini, akan sangat sempurna bila terlebih dahulu diawali dengan membaca Bismillah dan dua kalimat syahadat


Ilmu tersebut harus dilakukan dengan tebusan puasa mutih selama tiga hari, dan mantra dibaca tengah malam sambil membayangkan wajah orang yang dituju.


Sumber : http://peperonity.com/go/sites/mview/ajian/21909844
Diberdayakan oleh Blogger.

Sejarah di Nusantara Copyright © 2011 | Template created by O Pregador | Powered by Blogger